Bagaimana cara menjadi pribadi wanita Islami?
Saat ini Islam kebanyakan hanya menjadi simbol semata. Islam hanya ada
di masjid dan pengajian-pengajian saja, sementara dalam kehidupan
sehari-hari Islam sering dilupakan.
Demikian juga para wanita muslim sendiri. Ada banyak wanita Islam yang tidak mau melekatkan identitas keislaman pada dirinya.
Padahal Islam adalah jalan keselamatan yang telah dijamin oleh Allah
SWT dapat mengantarkan seorang manusia ke dalam syurga. Islam dipandang
sebagai sesuatu hal yang kolot dan kuno.
Bentuk modernitas yang dikampanyekan adalah dengan menjauhkan kaum
wanita dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Sehingga, cukup sulit saat
ini pribadi wanita islami dalam diri para wanita muslim.
Bagaimana cara membangun pribadi wanita Islami tersebut? Berikut ini beberapa cara yang bisa dilakukan:
1. Pribadi wanita islami bisa dibangun pertama kali jika seorang
wanita Islam memahami ajaran agamanya dengan baik dan melaksanakan
perintah-perintah Allah SWT.
Ketaatan terhadap agama akan bisa mencerminkan kepribadian wanita
islami yang baik sebab ibadah akan memberikan pengaruh terhadap cerminan
akhlak prilaku yang ditampilkan.
2. Jilbab sebagai identitas wanita islami. Perbedaan utama seorang
wanita Islam dengan yang bukan Islam terletak pada simbol-simbol yang
dikenakannya, salah satunya adalah jilbab.
Saat kita bertemu dengan dua orang wanita yang satu mengenakan jilbab
dan yang satunya lagi tidak memakai jilbab, maka kita sudah bisa
menebak mana yang sosok wanita islami dan mana yang bukan wanita islami.
Inilah fungsi dari simbol sebagai identitas seorang muslim.
3. Pribadi wanita islami diukur dari sejauh mana akhlak prilaku yang
ia tampilkan sebagai buah dari pemahaman agamanya. Pribadi wanita islami
memang harus dibangun melalui karakter akhwat islami yang baik.
Tanpa adanya akhlak yang islami maka tidak bisa dikatakan seorang
wanita itu sebagai wanita yang islami. Akhlak, ibadah dan simbol menjadi
tiga hal yang saling beriringan dan saling memperkuat satu sama lain.
Sosok wanita dengan kepribadian islami yang kuat sangat dibutukan di
dalam kehidupan. Baik di tengah keluarga, masyarakat maupun bangsa dan
agama. Sosok wanita islami adalah tonggak kelahiran generasi islami.
Jika wanita-wanita suatu negara itu baik, maka akan baik lah suatu
negara tersebut.
Mengapa demikian? Berikut ini beberapa alasannya:
1. Karena wanita menjadi pelahir generasi yang akan datang
1. Karena wanita menjadi pelahir generasi yang akan datang
2. Karena wanita merupakan sosok yang akan mendorong karir perjuangan
kaum laki-laki. Wanita memiliki peran yang besar terhadap aktivitas
hidup seorang suami. Sukses atau tidaknya seorang laki-laki sangat
ditentukan oleh peran wanita dalam kehidupan berumah tangga. Pria yang
sukses tentunya didukung oleh wanita yang sukses.
3. Karena wanita pendorong aktivitas dakwah seorang suami
4. Karena seorang wanita memiliki peran mendidik anak-anak yang lebih
besar dibanding dengan seorang laki-laki. Seorang ibu memiliki peran
yang sangat penting dalam kehidupan anak.
Sudahkah Anda menjadi sosok wanita islami? Sosok wanita yang islami bukan hanya akan memberikan kebaikan pada orang lain.
Ia juga akan tumbuh menjadi sosok wanita yang dihormati di tengah
masyarakat dan keluarga, dirindukan oleh para lelaki untuk dipersunting
sebagai istri. Belum lagi ganjaran pahala yang akan didapatkan di
akhirat kelak.
Jiwa yang islami tidak bisa hanya sebatas polesan, namun harus
dilandasi dari ketulusan jiwa. Jika tampilannya hanya dibuat-buat,
sebatas tampilan semata, maka tak akan mendapatkan pahala di sisi Allah
SWT.
APA SAJA YANG BOLEH DIKERJAKAN WANITA?
Bagaimana hukum wanita bekeria menurut syara'? Maksudnya:
bekerja di luar rumah seperti laki-laki. Apakah dia boleh
bekerja dan ikut andil dalam produksi, pembangunan, dan
kegiatan kemasyarakatan? Ataukah dia harus terus-menerus
menjadi tawanan dalam rumah, tidak boleh melakukan aktivitas
apa pun? Sementara kami sering mendengar bahwa agama Islam
memuliakan wanita dan memberikan hak-hak kemanusiaan
kepadanya jauh beberapa abad sebelum bangsa Barat
mengenalnya. Apakah aktivitas yang ia lakukan itu tidak
dapat dianggap sebagai haknya yang akan menjernihkan air
mukanya, sekaligus dapat menjaga kehormatannya agar tidak
menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan seenaknya
ketika dibutuhkan atau dikurbankan ketika darurat?
Mengapa wanita (muslimah) tidak boleh terjun ke kancah
kehidupan sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita Barat,
untuk menjernihkan kepribadiannya dan memperoleh hak-haknya,
agar dapat mengurus dirinya sendiri, dan ikut andil dalam
memajukan masyarakat?
Kami ingin mengetahui batas-batas syariah terhadap aktivitas
yang diperbolehkan bagi wanita muslimah, yang bekerja untuk
dunianya tanpa merugikan agamanya, lepas dari kekolotan
orang-orang ekstrem yang tidak menghendaki kaum wanita
belajar dan bekerja serta keluar rumah walau ke masjid
sekalipun. Juga jauh dari orang-orang yang menghendaki agar
wanita muslimah lepas bebas dari segala ikatan sehingga
menjadi barang murahan di pasar-pasar.
Kami ingin mengetahui hukum syara' yang benar mengenai
masalah ini dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak
mengurang-ngurangkan.
JAWABAN
Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita
merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan
bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur'an:
"... sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain
..." (Ali Imran: 195}
Manusia merupakan makhluk hidup yang diantara tabiatnya
ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak
demikian, maka bukanlah dia manusia.
Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan manusia agar mereka
beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk
menguji siapa diantara mereka yang paling baik amalannya.
Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal
sebagaimana laki-laki - dan dengan amal yang lebih baik
secara khusus - untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa
Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki
maupun perempuan...'" (Ali Imran: 195)
Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala
di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
"Barangsiapa yang mengeryakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(an-Nahl: 97}
Selain itu, wanita - sebagaimana biasa dikatakan - juga
merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak
pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota
masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas
dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi
sesuatu pun.
Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang tidak
diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru.
Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik
secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak
boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan
kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat
menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini,
yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya
pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan
yang berupa manusia (sumber daya manusia).
Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu
Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:
Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan
Jika Anda mempersiapkannya dengan baik
Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik
pokok pangkalnya.
Diantara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya
membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang
tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga
terkenal dalam peribahasa, "Bagusnya pelayanan seorang
wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fi
sabilillah."
Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar
rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak ada seorang pun
yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara'
yang sahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya.
Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan
itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.
Berdasarkan prinsip ini, maka saya katakan bahwa wanita
bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan
kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib
apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda
atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau
keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia
sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya
dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.
Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita
untuk bekerja, seperti membantu suaminya, mengasuh
anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil,
atau membantu ayahnya yang sudah tua - sebagaimana kisah dua
orang putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang
menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur'an
surat al-Qashash:
"... Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi
(ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu
memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang
tua yang telah lanjut umurnya.'" (al-Qashash: 23)
Diriwayatkan pula bahwa Asma' binti Abu Bakar - yang
mempunyai dua ikat pinggang - biasa membantu suaminya Zubair
bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk
dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas
kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.
Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan
wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang
wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang
memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah
wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan
laki-laki.
Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja
pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam
kondisi darurat yang seyogianya dibatasi sesuai dengan
kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.
Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib
diikat dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya,
pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu
yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani
lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi
seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering
berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang
nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja
di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras - padahal
Rasulullah saw. telah melaknat orang yang menuangkannya,
membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal
terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan,
bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri
asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain
yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita
maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.
2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam
berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.
"Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, 'Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) tampak daripadanya ...'" (an-Nur: 31 )
"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan ..." (an-Nur: 31 )
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik" (al-Ahzab 32)
3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan
kewajibankewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti
kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan
kewajiban pertama dan tugas utamanya.