Sabtu, 03 Januari 2015

WANITA MUSLIMAH


Bagaimana cara menjadi pribadi wanita Islami? Saat ini Islam kebanyakan hanya menjadi simbol semata. Islam hanya ada di masjid dan pengajian-pengajian saja, sementara dalam kehidupan sehari-hari Islam sering dilupakan.
Demikian juga para wanita muslim sendiri. Ada banyak wanita Islam yang tidak mau melekatkan identitas keislaman pada dirinya.
Padahal Islam adalah jalan keselamatan yang telah dijamin oleh Allah SWT dapat mengantarkan seorang manusia ke dalam syurga. Islam dipandang sebagai sesuatu hal yang kolot dan kuno.
Bentuk modernitas yang dikampanyekan adalah dengan menjauhkan kaum wanita dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Sehingga, cukup sulit saat ini pribadi wanita islami dalam diri para wanita muslim.
Bagaimana cara membangun pribadi wanita Islami tersebut? Berikut ini beberapa cara yang bisa dilakukan:
1. Pribadi wanita islami bisa dibangun pertama kali jika seorang wanita Islam memahami ajaran agamanya dengan baik dan melaksanakan perintah-perintah Allah SWT.
Ketaatan terhadap agama akan bisa mencerminkan kepribadian wanita islami yang baik sebab ibadah akan memberikan pengaruh terhadap cerminan akhlak prilaku yang ditampilkan.
2. Jilbab sebagai identitas wanita islami. Perbedaan utama seorang wanita Islam dengan yang bukan Islam terletak pada simbol-simbol yang dikenakannya, salah satunya adalah jilbab.
Saat kita bertemu dengan dua orang wanita yang satu mengenakan jilbab dan yang satunya lagi tidak memakai jilbab, maka kita sudah bisa menebak mana yang sosok wanita islami dan mana yang bukan wanita islami. Inilah fungsi dari simbol sebagai identitas seorang muslim.

3. Pribadi wanita islami diukur dari sejauh mana akhlak prilaku yang ia tampilkan sebagai buah dari pemahaman agamanya. Pribadi wanita islami memang harus dibangun melalui karakter akhwat islami yang baik.
Tanpa adanya akhlak yang islami maka tidak bisa dikatakan seorang wanita itu sebagai wanita yang islami. Akhlak, ibadah dan simbol menjadi tiga hal yang saling beriringan dan saling memperkuat satu sama lain.
Sosok wanita dengan kepribadian islami yang kuat sangat dibutukan di dalam kehidupan. Baik di tengah keluarga, masyarakat maupun bangsa dan agama. Sosok wanita islami adalah tonggak kelahiran generasi islami. Jika wanita-wanita suatu negara itu baik, maka akan baik lah suatu negara tersebut.
Mengapa demikian? Berikut ini beberapa alasannya:
1. Karena wanita menjadi pelahir generasi yang akan datang
2. Karena wanita merupakan sosok yang akan mendorong karir perjuangan kaum laki-laki. Wanita memiliki peran yang besar terhadap aktivitas hidup seorang suami. Sukses atau tidaknya seorang laki-laki sangat ditentukan oleh peran wanita dalam kehidupan berumah tangga. Pria yang sukses tentunya didukung oleh wanita yang sukses.
3. Karena wanita pendorong aktivitas dakwah seorang suami
4. Karena seorang wanita memiliki peran mendidik anak-anak yang lebih besar dibanding dengan seorang laki-laki. Seorang ibu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan anak.
Sudahkah Anda menjadi sosok wanita islami? Sosok wanita yang islami bukan hanya akan memberikan kebaikan pada orang lain.
Ia juga akan tumbuh menjadi sosok wanita yang dihormati di tengah masyarakat dan keluarga, dirindukan oleh para lelaki untuk dipersunting sebagai istri. Belum lagi ganjaran pahala yang akan didapatkan di akhirat kelak.
Jiwa yang islami tidak bisa hanya sebatas polesan, namun harus dilandasi dari ketulusan jiwa. Jika tampilannya hanya dibuat-buat, sebatas tampilan semata, maka tak akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.


APA SAJA YANG BOLEH DIKERJAKAN WANITA?
   Bagaimana hukum wanita bekeria menurut syara'? Maksudnya: bekerja di luar rumah seperti laki-laki. Apakah dia boleh bekerja dan ikut andil dalam produksi, pembangunan, dan kegiatan kemasyarakatan? Ataukah dia harus terus-menerus menjadi tawanan dalam rumah, tidak boleh melakukan aktivitas apa pun? Sementara kami sering mendengar bahwa agama Islam memuliakan wanita dan memberikan hak-hak kemanusiaan kepadanya jauh beberapa abad sebelum bangsa Barat mengenalnya. Apakah aktivitas yang ia lakukan itu tidak dapat dianggap sebagai haknya yang akan menjernihkan air mukanya, sekaligus dapat menjaga kehormatannya agar tidak menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan seenaknya ketika dibutuhkan atau dikurbankan ketika darurat?   Mengapa wanita (muslimah) tidak boleh terjun ke kancah kehidupan sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita Barat, untuk menjernihkan kepribadiannya dan memperoleh hak-haknya, agar dapat mengurus dirinya sendiri, dan ikut andil dalam memajukan masyarakat?   Kami ingin mengetahui batas-batas syariah terhadap aktivitas yang diperbolehkan bagi wanita muslimah, yang bekerja untuk dunianya tanpa merugikan agamanya, lepas dari kekolotan orang-orang ekstrem yang tidak menghendaki kaum wanita belajar dan bekerja serta keluar rumah walau ke masjid sekalipun. Juga jauh dari orang-orang yang menghendaki agar wanita muslimah lepas bebas dari segala ikatan sehingga menjadi barang murahan di pasar-pasar.   Kami ingin mengetahui hukum syara' yang benar mengenai masalah ini dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurang-ngurangkan.   JAWABAN   Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur'an:   "... sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain ..." (Ali Imran: 195}   Manusia merupakan makhluk hidup yang diantara tabiatnya ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak demikian, maka bukanlah dia manusia.   Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan manusia agar mereka beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk menguji siapa diantara mereka yang paling baik amalannya. Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal sebagaimana laki-laki - dan dengan amal yang lebih baik secara khusus - untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:   "Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan...'" (Ali Imran: 195)   Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia:   "Barangsiapa yang mengeryakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (an-Nahl: 97}   Selain itu, wanita - sebagaimana biasa dikatakan - juga merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi sesuatu pun.   Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini, yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan yang berupa manusia (sumber daya manusia).   Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:   Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan Jika Anda mempersiapkannya dengan baik Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.   Diantara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga terkenal dalam peribahasa, "Bagusnya pelayanan seorang wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fi sabilillah."   Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak ada seorang pun yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara' yang sahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya. Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.   Berdasarkan prinsip ini, maka saya katakan bahwa wanita bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.   Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita untuk bekerja, seperti membantu suaminya, mengasuh anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil, atau membantu ayahnya yang sudah tua - sebagaimana kisah dua orang putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur'an surat al-Qashash:   "... Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.'" (al-Qashash: 23)   Diriwayatkan pula bahwa Asma' binti Abu Bakar - yang mempunyai dua ikat pinggang - biasa membantu suaminya Zubair bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.   Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan laki-laki.   Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam kondisi darurat yang seyogianya dibatasi sesuai dengan kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.   Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib diikat dengan beberapa syarat, yaitu:   1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya, pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras - padahal Rasulullah saw. telah melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya. 2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik. "Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya ...'" (an-Nur: 31 ) "... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ..." (an-Nur: 31 ) "... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik" (al-Ahzab 32) 3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan kewajibankewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan kewajiban pertama dan tugas utamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar